Tinggalkan komentar

asy-Syauqi: “Guru, Hampir-Hampir Menjadi Seorang Rasul”

Suatu hari, sebuah pertanyaan dilayangkan kepada Iskandar; “sikapmu dalam memuliakan gurumu, sungguh melebihi sikapmu dalam memuliakan ayahmu sendiri, kenapa gerangan?” Iskandar pun menjawab:

لِأَنَّ أَبِيْ سَبَبُ حَيَاتِيْ الفَانِيَةِ, وَمُؤَدِّبِي وَمُعَلِّمِيْ سَبَبُ الْحَيَاةِ الْبَاقِيَةِ

“Karena ayahku adalah faktor sebab bagi kehidupanku (di dunia) yang fana, sementara orang yang mendidikku dan guruku, adalah faktor sebab bagi kehidupan yang abadi (di surga).”[1]

Demikianlah cerminan sikap dari mereka yang paham betul tentang kedudukan ilmu dan orang-orang yang mengajarkannya. Memuliakan guru, menghormatinya, mendahulukannya dalam penunaian hak, adalah tuntunan Islam, bukan karena latarbelakang individu Sang Guru, namun semata-mata karena kemuliaan ilmu yang diajarkannya. Rasulullâh pernah mengajarkan kepada para Sahabatnya sebuah kalimat yang agung, saat beliau bersabda:

لَيْسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّه

“Bukan termasuk ummatku; mereka yang tidak memuliakan para sesepuh kita, mereka yang tidak menyayangi generasi muda kita, dan mereka yang tidak mengenal hak-hak ‘alim-ulama kita.”[2]

Semoga Allâh merahmati asy-Syauqi yang berkata dalam syairnya:

قُم لِلمُعَلِّمِ وَفِّهِ التَبْجِيْلًا كادَ المُعَلِّمُ أَن يَكونَ رَسُوْلًا

“Sambutlah Sang Guru, dan berikan penghormatan untuknya ** Hampir-hampir seorang guru menjadi seorang Rasul (atau menyamai fungsi dan kedudukannya).”

أَعَلِمْتَ أَشرَفَ أَو أَجَلَّ مِنَ الَّذِيْ يَبْنِيْ وَيُنشِئُ أَنفُسًا وَعُقُوْلًا

“Tahukah engkau ada orang yang lebih mulia dan lebih agung dibanding orang ** yang membangun dan membina jiwa-jiwa dan akal?”

سُبحانَكَ اللَهُمَّ خَيرَ مُعَلِّمٍ عَلَّمتَ بِالقَلَمِ القُرونَ الأولى

“Mahasuci Engkau Yaa Allâh, Engkaulah Pendidik dan Pengajar terbaik ** Engkau mengajarkan dengan Pena semenjak kurun yang pertama.”

أَخرَجْتَ هَذَا العَقْلَ مِنْ ظُلُمَاتِهِ وَهَدَيْتَهُ النُّوْرَ المُبِيْنَ سَبِيْلًا

“Engkau mengeluarkan akal dari kegelapan (yang menyelubungi)-nya ** dan Engkau memberinya cahaya petunjuk sebagai jalan.”

وَطَبَعْتَهُ بِيَدِ المُعَلِّمِ تارَةً صَدِئَ الحَدِيْدُ وَتَارَةً مَصْقُوْلًا

“Engkau mencetak (generasi) melalui tangan seorang guru, yang terkadang ** telah menjadi besi berkarat, dan terkadang telah dipoles.”

أَرْسَلتَ بِالتَوْرَاةِ مُوْسَى مُرْشِدًا وَابْنَ البَتُوْلِ فَعَلَّمَ الإِنْجِيْلًا

“Engkau mengutus Musa dengan Taurat sebagai pembimbing ** demikian pula Putra Sang Perawan (‘Isa ‘alaihissalam) yang mengajarkan Injil.”

وَفَجَّرَتَ يَنبُوْعَ البَيَانِ مُحَمَّداً فَسَقَى الحَدِيْثَ وَنَاوَلَ التَنْزِيْلًا

“Dan Engkau semburkan mata air wahyu bagi Muhammad r ** lantas ia menuangkan hadits (dengan mengajarkannya) dan menyampaikan al-Qur’an.”[3]

***

Lombok, 15 Jumadal Akhîr 1434 / 25-04-2013

Jo Saputra Halim (Abu Ziyan)


[1] Muhâdharâtul Udabâ’ hal. 14, dinukil dari Shaidul Afkâr hal. 26, asy-Syâmilah.

[2] Musnad Imâm Ahmad: 22807.

[3] Diwân asy-Syauqi: 497, lih. Shaidul Afkâr: 26-27, asy-Syâmilah.

Tinggalkan komentar