Tinggalkan komentar

Kaidah: Gugurnya Hukuman Karena Kesamaran dan Ketidakpastian Serta Kaitannya dengan Masalah Takfir

Kibar ‘Ulama Kerajaan Saudi Arabia dalam Ketetapan Majlis Hai-ah Kibär ‘Ulamä no. 49, 02/04/1419 dibawah pimpinan al-Imäm Ibnu Bäz rahimahulläh menyebutkan:

وإذا كانت الحدود تدْرَأ بالشبهات، مع أن ما يترتب عليها أقل مما يترتب على التكفير، فالتكفير أولى أن يُدْرَأ بالشبهات

“Jika penegakan hukuman had saja bisa dihindari gara-gara adanya kesamaran dan ketidakpastian, padahal akibat dan konsekuensi dari penegakan had tersebut tidak lebih besar daripada akibat dan konsekuensi dari suatu pengkafiran, maka pengkafiran atas seorang (muslim) lebih utama untuk dihindari jika masih terdapat kesamaran dan ketidakpastian.” [dinukil dari Dar-ut Takfïr bi asy-Syubuhät hal. 14, DR. Muhammad al-Madany] Apa maksud ungkapan Kibar ‘Ulama tersebut..?? Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, terlebih dahulu kita perlu mengenal apa itu “dar-ul hudüd bi asy-syubuhät” (mencegah penegakan had dikarenakan masih adanya kesamaran atau ketidakpastian).

Pengertian “Dar-ul Hudüd bi asy-Syubuhät” & Dalil-Dalilnya

Dar-ul hudüd bi asy-syubuhät adalah sebuah kaidah yang menjadi pegangan bagi setiap hakim untuk sebisa mungkin menghindari hukuman had atas tersangka pelaku tindak kejahatan (seperti; membunuh, mencuri, berzina) selama masih ada asy-syubuhät (kesamaran dan ketidakpastian). Kaidah ini disarikan oleh Fuqohä’ dari hadits-hadits Rasülulläh shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah hadits yang mengisahkan tentang seorang Sahabat yang mengaku telah berbuat zina di hadapan Nabi. Sahabat ini ingin agar Nabi menegakkan hukuman had kepadanya. Nabi tidak serta merta langsung menegakkan had. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam malah mengajukan beberapa kemungkinan kepada Sahabat tersebut. Beliau bersabda: “mungkin engkau hanya sekedar mencium, atau meraba, atau sekedar melihat (tidak sampai berzina)”. Namun Sahabat tersebut terus menerus menyampaikan pengakuannya dan menolak kemungkinan-kemungkinan yang dipaparkan oleh Nabi. Pada akhirnya, Nabi harus menegakkan had tersebut karena sudah tidak ada lagi kesamaran atau ketidakpastian. [lihat Shahïh al-Bukhäri: 6438 dan Muslim: 4520] Yang menjadi sisi pendalilan dalam kisah tersebut adalah bagaimana Nabi berusaha mencari kemungkinan-kemungkinan yang bisa mencegah penegakan had tersebut. Itu terlihat jelas dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Nabi kepada Sahabat yang mengaku berzina tersebut. Demikian juga dalam kisah pengakuan Mä’iz bin Mälik radhiallähu’anhu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau telah melakukan Zina. Saat hendak dirajam dan mulai merasakan sakitnya had, tiba-tiba saja Mä’iz melarikan diri. Namun akhirnya ia tertangkap, dan hukum rajam tetap dijalankan. Saat kejadian tersebut disampaikan kepada Nabi, malah beliau bersabda: “Kenapa kalian tidak biarkan dia lari..?!” [Hadits hasan, Abu Dawud: 4422, an-Nasä-i: 7207, dihasankan al-Albani dalam Shahïh wa Dha’ïf Sunan Abi Dawud: 4420] Para ulama menjelaskan alasan Nabi berkata seperti itu. Karena boleh jadi Mä’iz ingin menarik pengakuannya. Dan jika seseorang telah menarik pengakuannya, maka yang tersisa adalah syubuhät atau ketidakpastian apakah benar-benar dia telah melakukan zina atau tidak, sementara 4 orang saksi perzinaan tersebut tidak ada. ‘Umar bin al-Khaththäb radhiallähu’anhu pernah mengatakan:

لأن أعطل الحدود بالشبهات أحب إلي من أن أقيمها بالشبهات

“Aku membatalkan penegakan had karena adanya kesamaran dan ketidakpastian, sungguh itu lebih aku sukai ketimbang menegakkannya sementara buktinya masih belum pasti.” [al-Mushannaf Ibn Abi Syaibah: 28493] Abdulläh bin Mas’üd radhiallähu’anhu berkata:

إذا اشتبه عليك الحد فادرأه

“Jika engkau masih samar (dalam melihat bukti-bukti suatu kejahatan), maka hindari penegakan had.” [al-Mushannaf Ibn Abi Syaibah: 28494] Al-Imäm az-Zuhri rahimahulläh mengatakan:

ادفعوا الحدود بكل شبهة

“Cegahlah had dengan segala kemungkinan adanya kesamaran dan ketidakpastian.” [al-Mushannaf Ibn Abi Syaibah: 28497]

Contoh Aplikasi Kaidah

Suatu ketika seorang laki-laki datang mengaku di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa dia telah berzina dengan seorang wanita. Laki-laki tersebut bahkan menyebutkan nama wanita tersebut. Namun ketika dikonfirmasi, ternyata si wanita membantah dan tidak mengakui hal tersebut. Maka ditegakkanlah had (hukuman cambuk) pada si laki-laki atas dasar pengakuannya tersebut. Adapun si wanita, ia terbebas dari hukuman had. [Shahïh, riwayat Abu Dawud: 4468, lihat Shahïh wa Dha’ïf Sunan Abi Dawud: 4437]

Kisah dalam hadits shahih di atas adalah salah satu contoh penerapan kaidah “dar-ul hudüd bi asy-syubuhät”. Di mana si wanita terbebas dari hukuman had dikarenakan tidak adanya bukti kuat dan meyakinkan yang menghilangkan kesamaran. Bahkan pada kasus perzinaan di mana 3 orang saksi melihat secara langsung perzinaan tersebut, namun saksi ke-4 kurang yakin telah menyaksikan dengan jelas, atau ia tidak bisa menyifatkan perzinaan tersebut, maka persaksian mereka batal dan orang yang tertuduh, bebas dari hukuman had. [Maqöshid asy-Syarï’ah lil ‘Uqübät fil Isläm: 729, DR. Husni al-Jundi, via bayanelislam.net]

Para Fuqohä’ juga menyebutkan contoh lain. Seperti tidak ditegakkannya hukuman had mencuri pada kasus pencurian fasilitas umum, karena di situ masih ada syubhat (ketidakpastian) terkait siapa pemilik fasilitas. [lihat Dar-ut Takfïr bi asy-Syubuhât hal. 19, DR. Muhammad al-Madany]. Demikian juga jika seorang bapak mencuri dari anaknya. Si bapak tidak dihukum had karena adanya kesamaran terkait hak kepemilikan. Karena Rasülulläh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa; “engkau dan hartamu adalah milik ayahmu.” [HR. Ahmad]. Hukuman had juga bisa gugur pada kasus pencurian yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya, atau sebaliknya. Di sini, ada kesamaran terkait hak. [Atsaru asy-Syubuhät fï Isqötil Hudüd, http://articles.islamweb.net ]

Penerapan Kaidah dalam Masalah Khilafiyyah

Para ulama juga telah bersepakat untuk tidak menegakkan hukuman had pada masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para ulama akan kebolehan dan keharamannya. Sekalipun pendapat yang membolehkan sangat lemah dan bahkan syadz (lain daripada yang lain). Kaidah fuqoha menyebutkan:

كل فعل يختلف فيه الفقهاء حلا وتحريما، فإن الاختلاف يكون شبهة تمنع إقامة الحد

“Setiap perbuatan yang diperselisihkan oleh para ahli fiqih akan kehalalan atau keharamannya, maka itu (termasuk kategori) syubhat atau ketidakpastian yang bisa mencegah ditegakkannya hukuman had.” [al-Majmû’ Syarhul Muhadz-dzab: 22/194, al-Muntaqo lil-Bâji Kitâbun Nikâh: 1/100]

Di antara contoh penerapannya adalah: tidak ditegakkannya hukuman had zina bagi orang yang nikah mut’ah. Padahal dalil-dalil yang membolehkan nikah mut’ah sangat-sangatlah lemah, hingga hampir-hampir tidak pernah digubris saking lemahnya di mata ahlussunnah wal-jamâ’ah. Namun karena boleh jadi si pelaku mut’ah melakukannya karena ta’wil atau syubhat karena ada ulama yang membolehkan, maka itu menjadi unsur ketidakpastian yang mencegah ditegakkannya had. [lihat Dar-ut Takfïr bi asy-Syubuhât hal. 19, DR. Muhammad al-Madany, lihat juga ucapan Ibnu Qudamah dalam al-Mughni: juz 10/hal.155 fashl-7160]

Sampai demikian kehati-hatian para fuqoha dalam menegakkan hukuman had. Nah, apalagi dalam masalah takfïr mu’ayyan (pengkafiran seorang person)…??

Bagaimana dengan Takfir Mu’ayyan…??

Berangkat dari ungkapan Hai-ah Kibar ‘Ulama di atas, maka sangat jelas ketergelinciran Takfiriyyûn (kelompok yang doyan dan gampang mengkafirkan orang). Karena mereka sering kali mengkafirkan muslimin gara-gara ketergelincirannya pada perkara-perkara yang samar atau masih menjadi perdebatan ilmiah antar ulama dalam ranah ijtihadiyyah.

Bahkan pada masalah-masalah kontemporer yang masih menjadi silang pendapat antar ulama, mereka begitu gampangnya melepaskan vonis kafir kepada orang yang tidak sejalan dengan pemahaman mereka. Sebagai contoh; mereka mengkafirkan semua muslim yang masuk ke parlemen tanpa perincian. Mereka menganggapnya sebagai tindakan merampas hak Allâh dalam membuat hukum. Sementara para ulama merinci mana yang masuk kategori kufur akbar, dan mana yang hanya sebatas maksiat besar saja (tidak sampai kafir). Di sisi lain, belum bisa dipastikan apakah setiap muslim yang masuk ke parlemen berniat menyaingi Allâh dengan menyusun undang-undang yang lebih baik atau setara dengan hukum Allah. Tidak juga bisa dipastikan bahwa setiap pribadi anggota parlemen adalah orang-orang yang membenci atau menentang hukum Allah. Tidak juga bisa dipastikan apakah setiap anggota parlemen tersebut rela dengan hukum-hukum selain Allah. Boleh jadi ada di antara mereka yang bahkan memiliki tekad untuk melakukan nasehat, menegakkan nahi munkar, serta berusaha mewujudkan hukum Allah, atau meminimalisir keburukan orang-orang kafir dan munafik di parlemen (sementara ini masih menjadi khilaf ijtihadi di kalangan ulama).

Ini semua adalah jenis-jenis ketidakpastian yang menjadi penghalang takfïr atas seorang person (ta’yïn). Sehingga tidak dibenarkan takfïr membabi-buta dalam masalah-masalah nawâzil (kontemporer) seperti ini.

Perhatikanlah ucapan al-Imâm Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb rahimahullâh berikut ini. Ucapan emas seorang Imam yang sering dipelintir ungkapannya oleh Takfïriyyûn untuk membenarkan pemahaman mereka:

أركان الإسلام الخمسة، أولها الشهادتان، ثم الأركان الأربعة، فالأربعة إذا أقر بها، وتركها تهاونا، فنحن وإن قاتلناه على فعلها، فلا نكفره بتركها. والعلماء اختلفوا في كفر التارك لها كسلا من غير جحود، ولا نكفر إلا ما أجمع عليه العلماء كلهم، وهو: الشهادتان.

“Rukun Islam yang lima, yang pertama adalah syahadatain (dua kalimat syahadat), kemudian ada empat rukun lagi setelahnya. Keempat rukun ini, jika diakui namun tidak dikerjakan karena malas atau mengentengkan, maka sekalipun kami memerangi orangnya, namun kami tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan rukun yang empat tersebut. Ulama berbeda pendapat akan kekafiran orang yang meninggalkan empat rukun tersebut karena malas asalkan tidak disertai pengingkaran. Dan kami tidak menjatuhkan vonis kafir kecuali pada perkara yang disepakati oleh segenap ulama (akan kekafiran orang yang meninggalkannya) yaitu: syahadatain.” [ad-Duror as-Saniyyah: 1/102, Cet.-6, Tahqïq: Abdurrahman bin Muhammad bin Qâsim]

Camkanlah betapa al-Imâm Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullâh sangat berhat-hati dalam menjatuhkan vonis kafir atas seorang person (ta’yïn). Poin inti dari ungkapan al-Imäm Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahulläh di atas adalah; bahwasanya kesamaran atau ketidakpastian dalam masalah perbuatan kufur yang dilakukan oleh seseorang, menjadikan hukum takfïr atas pribadi orang tersebut (ta’yïn) menjadi tidak bisa diaplikasikan.

Dalam ad-Duror as-Saniyyah (jilid-10, hal. 375) termaktub kaidah yang sangat penting dalam masalah ini:

فما تنازع العلماء في كونه كفرا، فالاحتياط للدين التوقف وعدم الإقدام، ما لم يكن في المسألة نص صريح عن المعصوم صلى الله عليه وسلم

“Perkara apa saja yang masih diperselisihkan oleh para ulama apakah ia termasuk perkara kufur atau tidak, maka sebagai wujud kehati-hatian dalam agama, sikap yang harus diambil adalah tawaqquf (menyetop diri) dan tidak maju (sembrono mengkafirkan), selama tidak ada nash yang tegas dalam masalah tersebut yang bersumber dari al-Ma’shûm (Rasul kita yang terpelihara dari kesalahan), shallallâhu ‘alaihi wasallam.” Para ulama juga menegaskan bahwa seseorang yang telah dipastikan statusnya sebagai seorang muslim dengan yakin, maka tidak bisa dikeluarkan dari statusnya tersebut kecuali dengan sesuatu yang meyakinkan pula, serta bebas dari kesamaran dan ketidakpastian. [lihat Majmuu’ al-Fatawa: 12/489-501, Ibnu Taimiyyah]

Dalam tataran takfïr mu’ayyan (pengkafiran seorang individu), hukum takfïr tidak bisa diterapkan pada masalah-masalah yang belum pasti, atau terdapat kemungkinan ta’wil dari pelaku karena memegang pendapat ulama lain, semisal pada masalah-masalah yang masih diperselisihkan oleh para ulama.

Sebagai contoh pada kasus seorang muslim yang meninggalkan sholat karena malas, bukan karena mengingkari kewajiban sholat. Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian mengkafirkan, sebagian lagi tidak mengkafirkannya. Nah, ulama yang mengkafirkan, semisal al-Imäm Ibnul ‘Utsaimïn rahimahulläh, malah berfatwa tentang tidak kafirnya orang yang meninggalkan sholat jika dia hidup di negeri yang seluruh ulamanya berpendapat tidak kafirnya orang yang meninggalkan sholat karena malas. [lihat at-Tabshïr bi Qowä’id at-Takfïr hal. 115-116, Ali Hasan al-Halabi]

Mengapa demikian? Karena beliau (Ibnul ‘Utsaimïn rahimahulläh) memandang itu sebagai salah satu syubuhät (kesamaran dan ketidakpastian) yang mencegah jatuhnya vonis takfïr secara person.

Kesimpulannya…,

perkara takfïr tidaklah sesederhana yang disangka oleh Takfiriyyün. Kalau hukuman had saja bisa gugur dikarenakan adanya kesamaran, ketidakpastian, atau kemungkinan-kemungkinan yang lain, maka dalam masalah takfïr seorang individu tentu lebih pantas untuk digugurkan, jika kesamaran, ketidakpastian, dan kemungkinan-kemungkinan lain masih bercokol.

Karena dampak hukum dari suatu pengkafiran, jauh lebih dahsyat dari dampak yang lahir dari hukuman had. Hukuman had hanya menimpa sebatas orang yang bersangkutan (bahkan sebaliknya hukuman had tersebut bisa membawa dampak positif bagi dirinya). Beda dengan pengkafiran, ketika vonisnya telah jatuh, maka si kafir harus dipisah dari istrinya, sanak-familinya harus menegakkan baraa’ terhadapnya, dia tidak berhak mendapat warisan, dan tidak bisa mewariskan, dan dia divonis hukum mati oleh pemerintah Islam jika enggan untuk bertobat. Ini adalah bentuk hukum di dunia. Lihatlah betapa luas dan dahsyat dampaknya, tidak hanya sebatas menimpa si murtad. Adapun di akhirat, saat kita mengkafirkan seseorang, maka di saat itu pula kita telah memastikan dia diharamkan mendapatkan ampunan dan kasih sayang Alläh jika ia mati di atas kekafiran. Bisa dibayangkan jika ternyata vonis kafir tersebut keliru, tanpa sadar kita telah berkata tentang Allah tanpa ilmu.

Saat melihat seorang individu muslim yang jatuh dalam kekufuran, segala macam kesamaran dan ketidakpastian yang menjadi mawäni’ (penghalang kekafiran) haruslah sirna, barulah hukum takfïr secara personal bisa dijatuhkan. Terkecuali jika kita jelas-jelas melihat seseorang yang masih waras, dewasa, tanpa dipaksa, dan dengan sengaja sujud di hadapan patung berhala, atau menginjak mushaf, atau menghina Nabi (misalkan). Maka di sini, orang tersebut bisa dipastikan akan kekafirannya. Karena sudah tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi kesamaran dan ketidakpastian.

Namun bagi kita orang awam, apalagi yang tidak memegang kekuasan untuk melakukan had, apa manfaatnya menggembar-gemborkan pengkafiran terhadap seseorang (Kalau toh seseorang itu jelas-jelas kafir) …?? Untuk sekedar menegakkan al-Walaa’ wal-Baraa’….?? Ketahuilah bahwa al-Walaa’ wal-Baraa’ tidak hanya berlaku bagi orang kafir saja, bahkan juga bagi orang-orang fasiq dan ahli bid’ah, prinsip al-Walaa’ wal-Baraa’ harus tetap ditegakkan terhadap mereka sesuai kadar dan tuntutannya.

Catatan Penting:

Tulisan ini bukan untuk menyepelekan masalah kufur akbar. Jika seseorang telah jelas-jelas melakukan kekafiran, maka dia kafir. Tidak boleh ragu akan kekafiran orang-orang yang jelas akan kekafirannya. Karena ragu akan kekafiran orang kafir, adalah bentuk kekafiran tersendiri. Tulisan ini hanya menekankan bahwa takfir mu’ayyan punya ketentuan yang mengharuskan kita untuk ekstra hati-hati dalam menjatuhkan vonis kafir kepada seorang muslim yang sepintas terlihat melakukan kekufuran.

***

Lombok, 13042015

Johan Saputra Halim (Abu Ziyan)
-semoga Allah memaafkannya-

fb.com/jo.saputra.halim

Artikel: kristaliman.wordpress.com

Tinggalkan komentar